Monday, 13 June 2016

Jan Dara: The Finale (2013) - Like Father Like Son.


Selepas diusir dari rumah besar itu, Jan dan Ken pergi ke ke rumah nyonya besar atau suami pertama ayah Jan. Nyonya besar yang tinggal jauh dari keramaian, menceritakan semua masa lalu tentang dirinya dan ibu kandung Jan Dara. Lewat bermacam flashback dengan beberapa detil erotismenya, kisah masa lalu ini hampir memakan durasi setengah jam.

Terdengar kabar jika ayah Jan Dara sakit keras disaat yang sama berbarengan meninggalnya nyonya besar. Lalu Jan dan Ken kembali ke rumah besar itu lagi. Kali ini Jan kembali sebagai pewaris harta nyonya besar dan menggantikan ayahnya yang kejam. Awalnya Jan menjadi sosok yang menyenangkan. Ken yang kini telah menikah dan punya anak menjadi tangan kanannya. Bahkan Jan menikahi Kin yang hamil karena pergaulan bebasnya, lantaran kekasihnya telah berpulang saat Jan kembali lagi ke rumah besar. Hanya saja, Jan tidak bisa bermuka manis kepada ayahnya. Balas dendamnya dia lampiaskan dengan sukacita kali ini. Apa yang telah diperbuat ayahnya di masa lalu kini dia balas dengan tindakan serupa, bahkan termasuk meniduri selir ayahnya.


Lambat laun Jan Dara berubah seperti ayahnya. Sifat dan tingkah lakunya sama persis sehingga Ken pun tak betah tinggal dirumah besar itu lagi. Ken akhirnya memutuskan pergi dan membuka usahanya sendiri. Hingga pada suatu hari saat pecah perang dunia, Jepang menginvasi Thailand. Kemelut dirumah besar belum usai, kini datang perang yang akan menewaskan banyak orang termasuk keluarga Jan Dara. Apa yang terjadi di akhir kisah? 

Tentu saja penonton tahu jika Jan Dara dan Ken tetap hidup karena cerita ini diceritakan oleh mereka berdua di bangku taman. Tapi apakah Jan Dara akan menemukan kebahagian sejatinya?


Yang telah menyaksikan Jan Dara The Beginning, The Finale nampaknya sebagai pelengkap saja sekedar ingin menuntaskan kisah Jan Dara. Kadar erotismenya mulai mengendor di separuh terakhir film seiring mengendornya akting para bintangnya. Ritme cerita yang terlalu dibuat dramatis menjadikan film ini terlalu lebay. The Finale makin tidak menunjukkan keotentikan eksotisme Thailand dengan memasang banyak bintang berkulit putih bersih bak orang China. Bandingkan dengan versi 2001 yang lebih menggigit dramalurginya, dan bintang-bintangnya juga tampak begitu membumi dengan kulit sawo matang.


Mario Maurer ternyata kurang berani dan gagal memenuhi ekspetasi penonton yang berharap dijilid kedua ini dia lebih panas daripada Chaiyapol Julian Pupart. Padahal Chaiyapol sudah menyerahkan scene-scene panasnya untuk diambil alih oleh Mario Maurer dengan sedikitnya porsi cerita Ken, dan Ken juga lebih sering berbaju rapi. 

Sepertinya Mario Maurer belum mau mengotori reputasinya sebagai idola gadis remaja dan konsekuensinya aktingnya menjadi tidak all out. He even didnt workout to have great body. Yang cukup mengganggu adalah Jan dan Ken versi tua yang tetap diperankan dua bintang muda itu. Rasanya untuk perfilman masa kini, mengubah bintang menjadi tua dengan polesan make up yang standar bisa berujung cemoohan. 
 
Kalau memang memungkinkan, mengapa tidak benar-benar mencari aktor tua sungguhan? Bukankah Mario Maurer dan Chaiyapol Julian Pupart sudah sangat banyak jatah screen time-nya sepanjang dua jilid? Bandingkan dengan Jan Dara versi 2001 yang mengganti pemeran Jan Dara sebanyak 4 kali.

Jika anda belum menyaksikan Jan Dara versi 2001, dan masih penasaran dengan kisah Jan Dara yang setia dengan novelnya, ada baiknya anda menontonnya. Dan anda akan tahu mengapa versi 2001 jauh lebih superior dari versi-nya Mario Maurer inii.

Hollywoof! just can give JAN DARA THE FINALE a flat C+

Memorable scene: Adegan cabul Kin dan calon tunangannya yang tentara itu, and other cabul scene lah.

Bates Motel (Season 4) - Awal dari Akhir.




Spoiler Alert!

Season keempat kisah Norma Bates dan kedua putranya ini telah banyak ditunggu penonton yang penasaran akan nasib tokoh-tokoh di dalamnya. Apalagi gencar diberitakan kalau musim kelimanya akan menjadi musim pamungkas kisah adaptasi prekuel film legendaris Psycho ini.

Musim keempat menceritakan dilema Norma yang tak mampu memasukkan Norman ke rumah perawatan khusus penderita penyakit kejiwaan yang mahal, sementara bukti-bukti bahwa Norman mulai membunuh lagi telah ia temukan. Siapa korbannya kali ini?

Namun diantara kegalauannya, Sherif Romero menawarkan solusi jitu. Yaitu menikahinya. Dengan begitu biaya perawatan Norman bisa diatasi oleh asuransi. Kita juga tahu kalau Romero juga menyimpan satu tas berisi uang dari seorang kriminal yang dibunuhnya di musim lalu.

Singkat cerita, Norman akhirnya masuk ke rumah perawatan khusus. Norma bahagia bersama Romero. Dan Dylan dan Emma pun ikut berbahagia. Hingga suatu saat Norman mengetahui kalau ibunya telah menikah lagi. Tak rela cintanya dibagi, Norman berusaha keluar dari rumah perawatan tersebut. Dylan (yang yakin kalau ada korban baru) dan Romero berusaha meyakinkan Norma supaya membuat Norman tetap berada dalam perawatan. Norma Bates pun galau. Kecintaannya yang berlebihan kepada putranya yang mengidap masalah kejiwaan itu akhirnya malah berakibat fatal.

Kisah di musim keempat ini sungguh membuat penonton gregetan. Lapis demi lapis masalah sebenarnya mulai terurai. Penonton sempat mendapat akhir bahagia untuk Dylan dan Emma, dan juga Norma dan Romero. Namun dengan pintarnya, di episode akhir plot berubah menjadi bencana.

Lagi-lagi kita ingin buru-buru menyaksikan musim selanjutnya yang mungkin menjadi musim penutup serial berepisode sepuluh ini. Yang telah menyaksikan Psycho, mungkin berharap akan ada pengulangan-pengulangan adegan fenomenal ala filmnya. Yang hanya menyaksikan serialnya saja mungkin ingin segera menyaksikan bagaimana Norman Bates kena batunya dan membayar semua dosa-dosanya sepanjang empat musim.

A

A must watch.


Thursday, 9 June 2016

SUPERGIRL (Season 1) - Si Manusia Baja Yang Mengenakan Rok


Dekade 90an kita pernah menikmati Superboy di layar televisi yang dibintangi John Haymes Newton. Dengan segala keterbatasan efek visual dan plot yang tidak terlalu berat, Superboy mampu bertahan beberapa musim. Saat ini, gempuran tayangan Superhero makin menjadi-jadi. Jika menghidupkan kembali Clark Kent ke layar gelas dianggap terlalu dini lantaran Smallville masih membayang-bayangi, pilihan bijak nampaknya dengan menghidupkan sepupu perempuan si Manusia Baja itu, Kara Danvers alias Supergirl.

Sedikit mengherankan adalah Supergirl tidak dibesut stasiun The CW yang kadung di cap sebagai 'wadah' superhero-superhero DC. Supergirl tayang di CBS. Pengharapannya tentu saja Supergirl akan menjadi tayangan 'bergizi' dibandingkan superhero-superhero yang lebih dulu tayang di The CW. 

Ingat Melissa Benoist yang memerankan Marley Rose dalam serial musikal Glee? Nah gadis cantik ini dipercaya mengenakan kostum merah hijau bersayap Supergirl. Penggemar serial televisi juga akan mendapati Calista Flockhart si Ally McBeal yang ikut meramaikan cerita.

Lalu bagaimana dengan plotnya?
Kisah gadis super ini mengekor kisah Agent S.H.I.E.L.D. Supergirl tidak 'bersolo karir', layaknya Superboy di dekade 90-an. Supergirl harus dibantu DEO, semacam badan rahasia khusus yang bertugas menangkapi kembali buronan-buronan The Phantom Zone. Tentu saja saat tidak menjadi Supergirl, jagoan kita ini menyaru sebagai Kara Danvers, asisten seorang media mogul cerewet, Cat Grant yang diperankan Callista Flockhart. Saban hari, Kara harus menyelesaikan tugas-tugasnya bersama Winn Schott dan James Olsen. Nah, Kara ternyata menaruh hati kepada James Olsen, sementara Winn Schott juga diam-diam menyukai Kara. 

Oh ya, yang menjadi ganjalan adalah tokoh Jimmy Olsen (di Supergirl ia bersikeras ingin dipanggil James) yang diperankan aktor kulit hitam Mehcad Brooks (Desperate Houswives, True Blood). Padahal kita tahu bahwa Jimmy Olsen adalah pria kulit putih teman setia Superman yang nerdy, yang kemana-mana mengalungkan kamera. Jimmy Olsen, atau James Olsen versi Supergirl sangat jauh berbeda. Tak terlihat nerdy, bahkan tinggi kekar. Keputusan ini tentu saja mengecewakan banyak fans kisah Si Manusia Baja. Apalagi di Supergirl, tokoh James Olsen tidak menunjukkan greget.

Callista Flockhart yang memerankan tokoh Cat Grant, bos Kara Danvers, sangat tipikal. Sedikit mengingatkan kita dengan tokoh bos yang semena-mena di Devil Wears Prada, dan tentu saja Ally McBeal yang quirky.

Supergirl tidak sekelam Gotham. Bahkan belum bisa disandingkan dengan Daredevil-nya Netflix. Kisah Supergirl terlalu ringan untuk menjadi tontonan yang dirindukan karena tidak memancing rasa penasaran penontonnya. Untuk serial besutan CBS, Supergirl terlalu bercita rasa Smallville. Yang jelas, serial ini cukup aman sebagai tayangan keluarga.

--------

B-

It's worth watching because you don't have anything better to watch.


Sunday, 6 December 2015

Endless Love (2014) - Let’s Be Young and Dumb.


Jika pernah mendengar lagu Endless Love yang dulu dibawakan Diana Ross dan Lionel Richie, dan kemudian dibawakan lagi oleh Mariah Carey dan Luther Vandros, dan kemudian anda bertanya-tanya apa hubungan lagu itu dengan film ini, itu pertanyaan yang wajar karena memang ada hubungannya. Lagu itu adalah soundtrack film drama romantis berjudul sama yang dibuat tahun 1981, besutan sutradara Franco Zeffirelli. Endless Love 1981 dibintangi Brooke Shield dan Martin Hewitt, namun jangan lupa di film ini juga ada Tom Cruise dan James Spader yang mengawali debut karir akting mereka.

Dan film Endless Love ini adalah remake dari film berjudul sama itu minus soundtrack nya yang membahana.

Endless Love menceritakan tentang sejoli David dan Jade yang merasakan getar-getar asmara di penghujung SMA. David pemuda miskin yang hanya memiliki ayah seorang pemilik bengkel. Sementara Jade adalah gadis cantik pirang dari kalangan kaya yang akan melanjutkan ke fakultas kedokteran di universitas ternama. Ayah Jade tak setuju jika putrinya berpacaran dengan David yang bermasalah dan dianggap tidak punya masa depan, padahal David adalah siswa pintar. Karena cintanya kepada David, Jade memutuskan untuk tidak mengambil magangnya, padahal magang tersebut sangat penting bagi masa depan kuliahnya nanti. Tentu saja sang ayah murka, dan mencari cara agar Jade meninggalkan David. Lalu apa dua insan ini akan bersatu diakhir cerita?

Endless Love versi 1981 sebenarnya bukan film yang mengesankan bahkan raupan box office-nya mengecewakan. Namun sekarang dianggap klasik. Bukan saja karena lagu temanya yang menjadi abadi, namun karena para bintangnya kini menjadi icon Hollywood. Endless Love menawarkan kisah cinta klise ala Rome Juliet yang mudah ditebak, dan versi terbarunya juga tak menawarkan hal yang baru.

Malangnya, mengubah jalan cerita menjadi lebih modern malah membuat Endless Love versi terbaru ini tak lebih dari FTV di stasiun televisi kita. Versi lawas lebih sedikit masuk akal dengan pendekatan Bohemian Family vs Political Family yang jauh lebih menarik. Sementara menukar mana yang kaya dan mana yang miskin dengan pendekatan Doctor Family vs Mechanic Family, Endless Love versi baru terasa aneh di zaman modern ini. Apalagi karakter Jade yang hambar itu digambarkan terlalu naif untuk seorang gadis pintar yang dibutakan cinta. This is 2014, girl!

Kesamaan fisik Gabrielle Wilde dengan Brooke Shield bisa membawa nostalgia, namun tidak dengan aktingnya. Wilde terlalu kaku sehingga tak bisa menampilkan performa yang baik. Akting Alex Pattyfer pun nampak terlalu biasa sehingga chemistry yang dibangun menjadi tidak mengena. David dan Jade di versi terbaru ini nampak seperti pasangan model celana jeans yang dipaksa bermain film saja.

Kesalahan terbesar Endless Love adalah mengubah jalan cerita demi alasan kekinian dan berusaha keras agar menjadi lebih fresh. Namun yang terjadi adalah tumpukan klise dan ketidakmasukakalan yang bahkan para remaja pun bisa mengenalinya. Misalnya mengapa Jade mengorbankan masa depannya demi pria yang dia cintai, padahal dia bisa menjalani keduanya (tetap magang dan kuliah sambil tetap pacaran dengan David) di era modern ini. Hello...??

Tokoh Hugh dan Anne Butterfield (ayah dan ibu Jade), dan Keith Butterfield (saudara Jade) pun tak dieksplorasi dengan baik. Hugh tak cukup punya alasan untuk membenci David, dan perselingkuhannya dengan wanita lain menguap begitu saja tanpa ada esensi. Padahal pasangan Bruce Greenwood dan Joely Richardson bermain sangat bagus di film ini.

Selain perubahan jalan cerita dan absennya tokoh antagonis yang cukup kuat membuat film ini terasa dangkal dalam urusan dramalurgi. Endless Love menjadi sangat mengecewakan karena penggambaran remaja di dekade ini yang tampak tanpa riset terlebih dahulu. Akan lebih baik jika mempertahankan plot aslinya namun diberi sentuhan kehidupan remaja saat ini, Endless Love malah melakukan yang sebaliknya. Bahkan tanpa soundtracknya yang melegenda itu. “My Love....there’s only you in my life...the only thing that’s right...”
Memorable scenes: Saat rumahnya terbakar, Hugh Butterfield sibuk menyelamatkan piala-piala putranya yang telah meningga, namun saat melihat david tergeletak, dia teringat putranya yang ‘gagal ia selamatakan’ itu.
 
Hollywoof! can only gives a C

Endless Love

Genre        :    Drama
Sutradara    :     Sahana Feste
Penulis        :    Shana Feste
Pemain        :     Gabriella Wilde, Alex Pettyfer, Bruce Greenwood
Durasi        :     104 menit


Wednesday, 2 December 2015

No Escape (2015) - Wrong Time. Wrong Place.


Premis No Escape sebenarnya tak terlalu istimewa. Kita telah banyak disodori film-film eksyen tentang seseorang (atau dua orang) yang berada di tempat dan waktu yang salah. Lalu orang tersebut harus bertahan hidup dengan segala upaya dan membuatnya menjadi pahlawan. No Escape kurang lebih punya plot seperti itu. Tapi, ada tapinya..seseorang tersebut adalah seorang ayah dan ibu dan kedua putri kecilnya yang harus mencari selamat di sudut kota di Asia Tenggara lantaran para pemberontak ala preman brutal tidak mengenal ampun membunuh para bule Amrik yang mereka temui. Gimana? Tertarik menontonnya?

Jack dan Annie Dwyer dan kedua putri mereka yang masih kecil baru saja menginjakkan kaki di sebuah negara di Asia Tenggara. Belum lagi habis lelah mereka setelah belasan jam di pesawat, mereka mendapati bahwa orang-orang perusahaan yang seharusnya menjemput mereka tak menampakkan batang hidungnya. Sesampai di hotel pun, Pria yang bakalan menjabat di perusahaan air minum di negara tersebut merasa jengkel karena siaran televisi, internet dan sambungan telepon tak ada sama sekali. Ada apa gerangan?

Jack baru mendapati jawabannya keesokan harinya saat harus keluar hotel hendak membeli koran di luar hotel. Apa jadinya jika ternyata para pemberontak ternyata membunuh Perdana Mentri negri itu dan membantai semua bule yang ada?

Yang terjadi mungkin sudah bisa ditebak, kita akan melihat Jack pontang-panting menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari kejaran para pemberontak yang keji dan kenal ampun.
Banyak kritikus yang menyebut film ini rasis karena pemberontak yang mengejar para bule digambarkan sangat one dimensional. Tapi ini sama sekali tidak terbukti jika kita mengikuti cerita dari awal hingga  akhir. Yang digambarkan keji dan kejam adalah para pemberontak yang geram dengan pemerintahan yang telah menjual aset negara kepada investor asing. Tokoh Jack Dwyer tidak tahu sama sekali mengapa dia dan keluarganya menjadi sasaran karena dia hanya pegawai perusahaan biasa.

One dimensional characters pada para pemberontak sangat menguntungkan penonton yang tak perlu repot-repot menelaah cerita yang tidak perlu dipolitisir terlalu berlebihan. Memang nanti akan ada penjelasan oleh tokoh yang diperankan Pierce Brosnan, namun fokus penonton tetap pada usaha penyelamatan diri Jack Dwyer dan anak istrinya.

Owen Wilson nampak sangat menjiwai perannya. Tokoh ayah yang diperaninya tidak terlalu heroik sehingga membuat karakter Jack Dwyer menjadi sangat pas. Mungkin inilah film pertama dimana dia memerankan peran serius, dan mengesankan` Lake Bell yang memerankan Annie Dwyer, sang istri, juga patut mendapat pujian.

Veteran 007, Pierce Brosnan sayangnya mendapat screen time sedikit, dan muncul menjadi penyelamat. Sangat disayangkan, memang. Namun ternyata malah membuat fokus kita terhadap keluarga Dwyer menjadi tidak terpecah.

No Escape adalah film eksyen yang mampu membuat penonton tercekam tanpa harus banyak ledakan dan bacok-bacokan tanpa juntrungan. Cukup dengan ritme cerita yang tepat dan plot sederhana tanpa membuat penonton banyak berpikir keras, No Escapa mampu membuat kita terengah-engah sepanjang durasi. Tontonlah.

Hollywoof! memberi nilai A-

Memorable Scene:
Saat Jack melempar satu persatu putrinya dari atap gedung ke atap gedung lainnya, sementara sang istri harus menyambutnya.

Scene Stealer:
Kenny Rogers. Lol


Bates Motel (Season 3) - Dan Semua Kekacauan Pun Dimulai.


Setelah menyusuri cerita Norma, Norman dan Dylan di season 1 dan season 2, cerita keluarga Bates ini makinn rumit dan banyak konflik yang makin menarik.

Norma yang makin curiga dengan kelainan jiwa putranya, Norman, kini terus mengawasi gerak-geriknya. Hingga ketika seorang tamu wanita cantik tiba-tiba menghilang setelah diantar Norman, Norma menjadi kalang kabut mencari tahu nasib tragis sang tamu. Saat ternyata si tamu cantik ditemukan, Norma malah diberi sebuah flashdisk yang isinya akan membuat banyak orang terlibat dalam permainan berbahaya. 

Norma juga sangat ingin menormalkan hidupnya. Maka dari itu dia kembali masuk ke Community College dan bertemu dosen psikologi yang nantinya diharapkannya mampu menolong Norman.

Sementara itu Norman makin menunjukkan gejala sakit jiwa yang gawat. Setelah Caleb, kali ini sang kakak, Dylan, memergoki Norman bertingkah seperti Norma. Puncaknya saat Norman ingin minggat bersama Bradley (Bradley dikisahkan memalsukan kematiannya dengan bantuan Norman dan Dylan di season 2), kepribadian ganda Norman yang berwujud Norma muncul dan menghabisi nyawa Bradley.

Dylan yang merahasiakan kehadiran Caleb, paman sekaligus ayah kandungnya, kini mencoba memperbaiki hubungannya dengan Norma. Mencoba membuat ladang ganja sendiri, Dylan dan Caleb menyadari bahwa yang mereka lakukan tidaklah mudah. Dylan juga mulai dekat dengan Emma yang sebelumnya berpacaran dengan Norman. Bahkan Dylan nantinya akan memberi semua uang modal usahanya untuk biaya pencangkokan paru-paru Emma.

Sherrif Romero yang kini menjadi tokoh reguler di musim ketiga, banyak mendapat tekanan dari pejabat dan pengusaha kotor. Flashdisk yang berada ditangan Norma, ternyata menyeret kembali nama ibu nya. Dengan bantuan Norma, Sherif Romero berusaha menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.

Semua konflik yang dihadirkan di musim ketiga ini saling berkaitan satu sama lain dengan semua tokoh utama. Tentu saja fokus utama adalah kisah Norman yang makin menjadi-jadi penyakit jwanya.

Musim ketiga ini makin solid dan menuai  banyak pujian. Ritme plot yang banyak letupan dan kejutan ditiap episode, makin membuai penonton. Musim ini ditutup dengan adegan Norman yang membunuh Bradley dengan kepribadiannya yang lain yang berwujud sang Ibu, Norma. Tentu saja ini membuat penonton penasaran dengan apa yang terjadi di musiim keempat. Apa Norma akan tewas ditangan Norman seperti kisah aslinya?

Hollywoof gives an A for Bates Motel Season 3.

Sunday, 29 November 2015

The Longest Ride (2015) - Koboy Romantis A la Nicholas Sparks Yang Gagal Menguras Air Mata


Untuk kesekian kalinya, novel laris karya Nicholas Sparks diangkat ke layar lebar. Kali ini The Longest Ride yang diterbitkan di tahun 2013 mendapat giliran untuk merebut hati penonton yang menyukai kisah-kisah romantis. Nicholas Sparks adalah novelis yang karya-karyanya tipikal namun tetap laris manis. Setelah The Best of Me dan Safe Haven yang belum terlalu lama, The Longest Ride sebenarnya tak memberi warna baru terhadap genre drama romantis bahkan malah terkesan terlalu mengekor The Notebook.

The Longest Ride berkisah tentang Luke Collins, penunggang banteng profesional yang tetap ingin menggeluti profesinya walau kerap terluka. Luke bertemu Sophia Danko, mahasiswi cantik yang tinggal di rumah sororoty pecinta seni yang akan segera magang di New York. Bisa ditebak, kedua insan ini jatuh cinta walau minatnya berlainan. Suatu ketika, mereka menemukan seorang pria tua yang mengalami kecelakaan mobil. Pria bernama Ira Levinson ini bersikeras agar kotak yang ada dimobilnya diselamatkan. Kotak tersebut berisi surat-surat yang ditulis Ira pada almarhumah sang istri pada saat remaja.

Sementara Luke terus berjuang menjadi juara rodeo, Sophia rajin mengunjungi Ira. Ira bercerita tentang masa mudanya dan awal mula dia bertemu sang istri. Lewat banyak adegan flashback, penonton diajak menyusuri kisah Ira dan Ruth muda.  Lalu apakah ada hubungan antara kisah Ira dengan kisah Luke dan Sophia?

The Longest Ride rasa-rasanya menjadi kisah adaptasi novel Nicholas Sparks yang paling datar. Scott Easwood yang tak lain adalah putra sutradara dan aktor kawakan Clint Eastwood memang punya pesona, namun wajahnya yang sepintas mirip Chris Evans ini tak cukup menolong plotnya yang datar tanpa letupan. Sementara Britt Robertson yang sudah dari kecil berakting, nampak tak cukup punya amunisi untuk membuat penonton ikut termehek-mehek dengan jalinan ceritanya. Bahkan kemistri yang dibangun dua bintang ini tidak cukup membawa nuansa romantis menjadi hidup.

Plot flashback yang disajikan mau tak mau membuat penonton membandingkan The Longest Ride dengan The Notebook yang juga karya Nicholas Spark. Sayangnya, The Longest Ride tidak memiliki ritme cerita yang sama menariknya dengan The Notebook.

The Longest Ride bukanlah film romantis yang jelek, namun formula yang dipakai terlalu generik dan banyak pengulangan-pengulangan yang ada di film adaptasi karya Nick Sparks lainnya. 

Hollywoof! thinks The Longest Ride is "Bagus sih, tapi datar dan tak memberi pengalaman baru."

B-

Memorable Scene: Scott Eastwood takes his shirt off.

Friday, 27 November 2015

Bates Motel (Season 2) – It's all about Norman



Melanjutkan cerita di musim sebelumnya (Bates Motel Season1), konflik makin meruncing dengan hadirnya Caleb yang ternyata saudara kandung Norma. Penonton diberi kejutan tentang siapa sebenarnya Caleb, tak lama kemudian. Sementara Norman berkenalan dengan cewek baru, Emma, yang kemana-mana selalu membawa tabung oksigen, bertemu juga dengan cowok lain.

Penyelidikan tentang tewasnya ibu guru Watson masih terus berlangsung. Ayah almarhumah ibu guru Watson ternyata berhubungan dengan bisnis narkoba yang dilakoni Dylan.

Norma yang kali ini beruntung bertemu dengan pria tampan yang jatuh hati dengannya, lagi-lagi harus menomersatukan kedua anak laki-lakinya.

Di penghujung musim, Norman akhirnya sadar dengan apa yang dia lakukan terhadap ibu guru Watson, namun pengaruh sang ibu, Norma, membuat bibit jiwa psikopatnya mulai berkembang.

Musim kedua terlihat lebih solid dengan banyaknya konflik antar tokoh yang membuat cerita lebih menarik. Hadirnya tokoh Caleb yang ternyata ayah kandung Dylan sebenarnya bisa membuat konflik menjadi lebih runcing, namun nampaknya masih disimpan dahulu lantaran Keluarga Bates sudah punya banyak masalah.

Michael Vartan yang beken lewat serial Alias hadir juga memeriahkan konflik yang diketengahkan, namun nampaknya tokoh yang diperankan terkesan numpang lewat saja, atau mungkin ‘disimpan’ juga untuk musim selanjutnya? Semoga saja.

Trio Vera Varmiga, Freddie Highmore dan Max Theiriot masih tetap prima melakoni peran yang mereka bawakan. Akting mereka sangat bagus dan patut mendapat pujian. Sementara disektor plot, Bates Motel masih mempunyai ritme yang sama seperti musim sebelumnya. 

Bates Motel Season 2 masih memikat dan tetap stabil menjaga thrill yang ada sepanjang 10 episode yang dihadirkan.  Dijamin penonton penasaran apa yang terjadi di musim selanjutnya.

Hollywoof! thinks Bates Motel Season 2 deserves an A.

Memorable Scene: Norman menyadari bahwa dialah pembunuh Ibu Guru watson.


Baca Juga

Powered by Blogger.

Pengunjung

Sponsor

Hottie of The Month

Hottie of The Month
Klik Foto

HiStats

 

© 2013 Hollywoof! . All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top