Selepas diusir dari rumah besar itu, Jan dan Ken pergi ke ke rumah nyonya besar atau
suami pertama ayah Jan. Nyonya besar yang tinggal jauh dari keramaian,
menceritakan semua masa lalu tentang dirinya dan ibu kandung Jan Dara. Lewat
bermacam flashback dengan beberapa
detil erotismenya, kisah masa lalu ini hampir memakan durasi setengah jam.
Terdengar kabar jika ayah Jan Dara sakit keras disaat
yang sama berbarengan meninggalnya nyonya besar. Lalu Jan
dan Ken kembali ke rumah besar itu lagi. Kali ini Jan kembali sebagai pewaris
harta nyonya besar dan menggantikan ayahnya yang kejam. Awalnya Jan menjadi
sosok yang menyenangkan. Ken yang kini telah menikah dan punya anak menjadi
tangan kanannya. Bahkan Jan menikahi Kin yang hamil karena pergaulan bebasnya,
lantaran kekasihnya telah berpulang saat Jan kembali lagi ke rumah besar. Hanya
saja, Jan tidak bisa bermuka manis kepada ayahnya. Balas dendamnya dia
lampiaskan dengan sukacita kali ini. Apa yang telah diperbuat ayahnya di masa
lalu kini dia balas dengan tindakan serupa, bahkan termasuk meniduri selir
ayahnya.
Lambat laun Jan Dara berubah seperti ayahnya.
Sifat dan tingkah lakunya sama persis sehingga Ken pun tak betah tinggal
dirumah besar itu lagi. Ken akhirnya memutuskan pergi dan membuka usahanya
sendiri. Hingga pada suatu hari saat pecah perang dunia, Jepang menginvasi
Thailand. Kemelut dirumah besar belum usai, kini datang perang yang akan
menewaskan banyak orang termasuk keluarga Jan Dara. Apa yang terjadi di akhir
kisah?
Tentu saja penonton tahu jika Jan Dara dan Ken
tetap hidup karena cerita ini diceritakan oleh mereka berdua di bangku taman.
Tapi apakah Jan Dara akan menemukan kebahagian sejatinya?
Yang telah menyaksikan Jan Dara The Beginning, The Finale
nampaknya sebagai pelengkap saja sekedar ingin menuntaskan kisah Jan Dara.
Kadar erotismenya mulai mengendor di separuh terakhir film seiring mengendornya
akting para bintangnya. Ritme cerita yang terlalu dibuat dramatis menjadikan
film ini terlalu lebay. The Finale makin tidak menunjukkan
keotentikan eksotisme Thailand dengan memasang banyak bintang berkulit putih
bersih bak orang China. Bandingkan dengan versi 2001 yang lebih menggigit
dramalurginya, dan bintang-bintangnya juga tampak begitu membumi dengan kulit
sawo matang.
Mario Maurer ternyata kurang berani dan gagal memenuhi ekspetasi penonton yang berharap dijilid kedua ini dia lebih panas daripada Chaiyapol Julian Pupart. Padahal Chaiyapol sudah menyerahkan scene-scene panasnya untuk diambil alih oleh Mario Maurer dengan sedikitnya porsi cerita Ken, dan Ken juga lebih sering berbaju rapi.
Sepertinya Mario Maurer belum mau mengotori reputasinya sebagai idola gadis
remaja dan konsekuensinya aktingnya menjadi tidak all out. He even didn’t
workout to have great body.
Yang cukup mengganggu adalah Jan dan Ken versi tua yang tetap diperankan dua bintang muda itu.
Rasanya untuk perfilman masa kini, mengubah bintang menjadi tua dengan polesan make up yang standar bisa berujung
cemoohan.
Kalau memang memungkinkan, mengapa tidak benar-benar mencari aktor
tua sungguhan? Bukankah Mario Maurer dan Chaiyapol
Julian Pupart sudah sangat banyak jatah screen time-nya
sepanjang dua jilid? Bandingkan dengan Jan
Dara versi 2001 yang mengganti pemeran Jan Dara sebanyak 4 kali.
Jika anda belum menyaksikan Jan Dara versi 2001,
dan masih penasaran dengan kisah Jan Dara yang setia dengan novelnya, ada
baiknya anda menontonnya. Dan anda akan tahu mengapa versi 2001 jauh lebih superior dari versi-nya Mario Maurer inii.
Hollywoof! just can give JAN DARA THE FINALE a flat C+