She loved mystery so much until she became one.
Kesuksesan luar biasa The Fault in Our Stars tentu saja menjadi salah satu faktor mengapa Paper Towns juga meraup untung yang luar biasa saat ditayangkan di berbagai bioskop. John Green, sang penulis, pasti tersenyum lebar lantaran dua novel suksesnya bisa terjemahkan dengan baik menjadi film-film yang laris.
Keistimewaan The Fault In Our Stars dan Paper Towns adalah kesederhanaan cerita. yang diusungnya. Saat diterjemahkan ke dalam filmpun, pemilihan bintangnya tetap mempertahankan prinsip kesederhanan tersebut.
Dibalik pujian tadi, sayangnya cerita dan emosi yang dibangun Paper Towns tidak dalam. Yang pernah dibuat haru dengan The Fault in Our Stars pasti dengan mudah mengatakan bahwa kualitas Paper Towns dibawah The Fault In Our Stars. Benarkah begitu?
Kisah Paper Towns berfokus pada remaja kutu buku bernama Quentin yang sejak kecil bertetanggaan dengan Margo, cewek pemberontak yang punya banyak ide gila. Lewat narasi Quantin, kita diajak mengenal siapa Margo dan bagaimana mereka dulu saat kecil sangat akrab, namun menjadi seperti tak kenal satu sama lain saat menginjak remaja.
Tentu saja kita maklum bagaimana Quentin dan Margo kecil yang berteman baik bisa menjadi seperti orang lain saat SMA. Quentin terlalu senang di zona aman sebagai remaja pintar dengan dua temannya yang juga nerdy. Sementara Margo menjelma menjadi gadis populer yang berteman dengan remaja-remaja modis penggila pesta.
Hingga pada suatu malam, Margo menyelinap ke kamar Quentin, sama persis seperti yang sering dilakukannya saat cilik. Mengajak Quentin melakukan petualangan sederhana yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Petualangan satu malam itu ternyata menjadi petualangan terakhir bagi mereka karena setelah kejadian itu, Margo menghilang.
Tak ada yang tahu dimana Margo berada, hingga suatu ketika Quentin menemukan petunjuk yang menuntunnya ketempat dimana Margo berada. Petunjuk-petunjuk yang di temukan membawa Quentin dan dua teman nerdy-nya ke sebuah perjalanan pencarian yang tak terlupakan. Lalu dimanakah Margo berada? berhasilkah Quentin dan teman-temannya menemukan Margo?
Harus diingat, petualangan pencarian Margo tidak sebombastis film-film remaja tipikal lainnya. Penonton tak disodori tokoh-tokoh remaja tipikal ala sinetron Indonesia. Tak ada cewek seksi yang menjengkelkan. Tak ada teman sok ganteng (padahal nggak) yang terus tebar pesona. Dan tak ada juga teman pintar sok tahu segala hal. Semua penokohan dan plot begitu natural sehingga kita membenci kesederhanaan cerita film ini.
Pun begitu saat kita tiba diakhir cerita. penonton sinis akan marah-marah dan membenci penulis cerita yang begitu tega mengeksekusi begitu saja. Namun penggemar John Green atau siapa saja yang mencintai kesederhanaan pasti akan berujar "This is how it is". Tak perlu kisah cinta bombastis ala komedi romantis milik Sandra Bullock untuk membuat kita tersentuh. Bahkan kisah sederhana anak SMA yang tengah mencari jati diri pun mampu memberi inspirasi
It really is a feel good story bagi yang merindukan masa remaja. Hidup tak selalu seperti yang kita inginkan. But life must go on.
Hollywoof! memberi nilai A-
P.S. Bintang The Fault In Our Stars nongol sebagai cameo. Hilarious.
Film ini layak ditonton jika kalian menyukai kesederhanaan bercerita dengan plot datar tanpa masalah berat.
0 komentar:
Post a Comment